s2.stiami.ac.id – Jakarta – Pajak sering kali disalahartikan sebagai “perampasan” atau “perampokan” secara ekonomi. Ini karena pajak identik dengan pungutan yang harus disetorkan kepada pemerintah dalam jumlah tertentu. Kesalahpahaman tersebut disebabkan terbatasnya pengetahuan atau informasi masyarakat mengenai cara pemerintah memperoleh penerimaan negara dan membelanjakannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pajak mulai dikenal sejak zaman Yunani kuno. Ketika itu, pajak berbentuk sumbangan sukarela dan dianggap mulia oleh masyarakat. Sebab, membayar pajak merupakan perbuatan yang luhur sehingga mereka merasa bangga atas prestasi itu. Namun, sifat kesukarelaan dari pemungutan sumbangan tersebut lama-lama berubah menjadi sebuah paksaan atau karena kedaruratan untuk kepentingan negara.

Pajak merupakan tulang punggung dalam pembangunan bangsa. Bukan hanya untuk mengumpulkan penerimaan negara yang berfungsi sebagai budgetair (tax revenue), tetapi juga bisa digunakan sebagai belanja negara yang berfungsi sebagai regulerend (tax expenditure). Untuk itu, pajak juga harus peka, sensitif, dan responsif terhadap situasi ekonomi yang terjadi.

Di masa pandemi, peran pajak sangat terasa manfaatnya dalam penanggulangan Covid-19 sekaligus memulihkan perekonomian. Berbagai kebijakan telah diberikan pemerintah agar aktivitas perekonomian tetap berjalan normal dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, pemerintah juga berupaya melindungi masyarakat secara menyeluruh dan terpadu dengan melakukan vaksinasi massal gratis untuk mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok. Karena penularan Covid-19 merupakan penyebab awal melemahnya perekonomian, vaksinasi diharapkan juga mampu memulihkan ekonomi.

Pengadaan vaksin yang ditargetkan menjangkau 208.265.720 orang membutuhkan dana yang besar. Di sinilah pajak berperan dalam merealisasikan program tersebut. Dana pajak yang telah direalisasikan untuk pengadaan vaksin Covid-19 pada APBN 2020-2021 mencapai Rp33,91 triliun untuk 308,1 juta dosis. Sedangkan pada APBN 2022, anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan vaksin Covid-19 sebesar Rp8,7 triliun.

Hingga 12 Juli 2022 pukul 18.00 WIB, sebanyak 201.802.967 orang (96,90%) telah menerima vaksin dosis pertama. Sebanyak 169.392.315 orang (81,33%) telah menerima vaksin dosis kedua, dan 52.095.747 orang (25,01%) telah menerima vaksinasi dosis ketiga.

Meski sudah divaksin, bukan berarti penularan Covid-19 berhenti. Masyarakat tetap harus patuh terhadap protokol kesehatan. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, pengusaha, dan lain sebagainya agar proses pemulihan ekonomi berjalan sesuai harapan.

Reformasi Pajak
Untuk memperkuat pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 yang masih dibayangi ketidakpastian, pemerintah dan DPR juga telah melakukan reformasi perpajakan. Reformasi itu diwujudkan dengan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang dibahas cepat menggunakan skema omnibus law. Arah kebijakan reformasi perpajakan ini berbasis teknologi informasi karena mengikuti tren perubahan proses bisnis pelaku usaha yang bergerak ke arah digital.

Selama pandemi Covid-19, banyak pelaku usaha yang mengubah pengelolaan usahanya menjadi berbasis digital seperti jual-beli barang/jasa, pembayaran, dan lain sebagainya. Dan tidak sedikit pelaku usaha lain yang tidak berbasis digital diuntungkan dengan adanya pandemi Covid-19 ini tetapi tidak terpantau oleh sistem perpajakan karena aktivitasnya informal, menggunakan teknologi yang melibatkan lintas negara, dan memperoleh pembebasan atau pengecualian pajak karena perbedaan perlakuan pajak antarsektor sehingga tidak dikenakan pajak.

UU HPP yang telah berlaku ini terdiri dari 9 bab dan 19 pasal, yang memunculkan dua kebijakan baru yaitu Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan Pajak Karbon; mengubah besaran tarif pajak dan merevisi 4 UU Perpajakan sekaligus yaitu UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; UU Pajak Penghasilan; UU Pajak Pertambahan Nilai; dan UU Cukai.

UU HPP diharapkan dapat menutup berbagai celah sengketa pajak, sistem perpajakan semakin efektif, efisien, adil, dan berkepastian hukum; basis perpajakan menjadi lebih kuat dan lebih luas; pertumbuhan ekonomi meningkat; mempercepat pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara; prosedur administrasi yang mudah dan sederhana bagi pembayar pajak; dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Realisasi penerimaan negara pada semester I 2022 telah mencapai Rp 1.317,2 triliun atau 58,1% dari target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2022 senilai Rp 2.266,2 triliun. Realisasi tersebut terdiri atas penerimaan pajak yang mencapai Rp868,3 triliun atau 58,5% dari target Rp1.485 triliun, kepabeanan dan cukai Rp167,6 triliun atau 56,1% dari target Rp299 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp281 triliun atau 58,3% dari target Rp481,6 triliun.

Kepatuhan pajak menjadi salah satu faktor terpenting dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan di Indonesia yang menganut sistem self assessment. Sebab, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.

 

Dengan demikian, kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya menjadi ujung tombak keberhasilan sistem perpajakan ini. Pemerintah juga tetap menjalankan pengawasan serta berupaya mempertahankan bahkan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Kepatuhan pajak identik dengan kesadaran warga negara untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, melaporkan sendiri surat pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap, dan jelas, serta tertib dan sukarela dalam pembayaran pajak karena tunduk terhadap peraturan perpajakan di suatu negara.

Selain melakukan reformasi perpajakan, pemerintah juga berupaya memberikan kemudahan dan kepastian berusaha agar daya saing ekonomi meningkat. Sebab perekonomian yang tak berdaya saing akan menciptakan biaya tambahan bagi sektor usaha dan meningkatkan informalitas perekonomian yang berujung tingginya kebocoran penerimaan pajak.

Untuk itu, pemerintah juga melakukan reformasi regulasi (deregulasi) dan reformasi birokrasi (debirokratisasi), Hal ini untuk menyelesaikan hambatan dalam berinvestasi seperti panjangnya rantai birokrasi, prosedur yang berbelit-belit, peraturan yang masih saling tumpang tindih, dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis, khususnya antara daerah dan pusat, melalui UU Cipta Kerja.

Dalam upaya meningkatkan kemudahan berusaha, pemerintahan meluncurkan sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik melalui sistem online single submission (OSS) berbasis risiko pada 9 Agustus 2021. Hingga 2 Juli 2022, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menerbitkan hampir 1,5 juta nomor induk berusaha (NIB) kepada pelaku usaha yang didominasi usaha mikro dan kecil hingga 98%.

Pajak telah menjadi simbol kegotongroyongan bangsa yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keberhasilan vaksinasi dan reformasi perpajakan akan mempercepat pemulihan ekonomi nasional, meningkatnya konsumsi rumah tangga, dan membentuk pondasi ekonomi yang semakin kuat dan tumbuh tinggi. Selain itu, langkah tersebut mempercepat penciptaan iklim investasi dan bisnis yang kompetitif pada sektor produktif. Jika itu terwujud, otoritas pajak dapat kembali memungut pajak setelah perekonomian membaik dan kondisi dunia usaha pulih.

 

Penulis :

Muhammad Aslam [BC191110089]
(Mahasiswa Aktif Pascasarjana Institut STIAMI)

 

Editor :

Adib Muttaqin Asfar

Diposting Ulang Sumber : solopos.com

Related posts