Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Keuangan mengaku kewalahan mencari skema pungutan pajak untuk transaksi ritel secara daring (e-commerce) karena model bisnis yang sangat variatif.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, model bisnis yang bervariasi membuat pemerintah berencana untuk menelurkan aturan pajak e-commerce secara umum terlebih dulu, kemudian menerbitkan aturan secara spesifik untuk masing-masing model bisnis. Sampai saat ini pihaknya masih menggodok aturan pemungutan pajak tersebut.

Secara rinci, setidaknya ada delapan model bisnis e-commerce yang perlu dipertimbangkan. Selain itu, pemerintah juga kewalahan mencari skema pungutan pajak e-commerce terhadap produk-produk nonfisik (intangible), seperti buku elektronik (e-book) hingga hiburan yang bisa diunduh.

Menurutnya, Pemungutan pajak bagi sektor perdagangan yang menggunakan skema penyedia layanan dalam negeri merupakan hal mudah, seperti menu Go-Food yang terdapat di dalam menu Go-Jek. Sebab, penyedia layanan sudah berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT), sehingga pajak bisa langsung dikenakan.

Namun, penerapan pajak produk intangible dinilai agak kusut, mengingat produknya tidak memiliki bentuk fisik, sehingga lalu lintas barang antar batas negara (cross border) susah dilacak.

�Lalu lintas barang yang masuk cross border itu gampang kalau barang fisik. Tapi kalau barangnya intangible, itu akan sangat susah diawasi. Ini yang sedang kami cari jalan keluarnya,� terang Mardiasmo di Depok, Kamis (30/11).

Lebih lanjut ia menyebut, pungutan pemerintah atas perdagangan barang non-fisik akan disamakan dengan dengan produk fisik, yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan bea masuk jika produk yang diperdagangkan bersifat antar negara

Namun, ia menganggap kajian pajak e-commerce barang non-fisik ini memerlukan ekstra kesabaran agar kebijakan yang diambil nantinya bisa mempersempit ruang gerak Wajib Pajak (WP) untuk menghindari pajak (tax avoidance).

�Jangan sampai (di satu model bisnis) dikenakan pajak, tapi yang lain tidak dikenakan, karena takutnya ada manuver (untuk hindari pajak). Jadi memang perlu ada tahapannya,� imbuh dia.

Menurut Mardiasmo, aktivitas belanja elektronik bagi barang nonfisik paling ketara dilihat dari sistem otorisasi proses pembayaran dari pembeli ke penjual, atau biasa disebut payment gateway. Maka dari itu, Kemenkeu tengah melakukan kajian intensif dengan Bank Indonesia.

�Kami lihat volume uang dan barangnya, nah uang ini bergerak darimana? Tentu ini bisa ditangkap oleh BI dari payment gateway karena lalu lintas uangnya dari situ. Namun, ini masih dalam proses, kalau sudah diproses nanti kami sampaikan,� terangnya.

Oleh karenanya, sebagai tahap awal, pemerintah kemungkinan baru memungut pajak e-commerce dari provider jasa layanan terlebih dulu. �Tapi itu belum kami putuskan lebih lanut. Rencananya memang (aturan pajak e-commerce) berlaku secara keseluruhan dulu, tapi nanti ada tahapan-tahapan berikutnya. Ini sedang kami mapping semuanya,� pungkas Mardiasmo.

Adapun menurut Asosiasi e-Commerce Indonesia, potensi transaksi e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai Rp1.700 triliun di tahun 2020 mendatang. Angka ini melonjak signifikan dibanding total nilai transaksi e-commerce di tahun 2016 sebesar Rp75,76 triliun.

Sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171130203110-532-259360/transaksi-variatif-kemenkeu-kewalahan-atur-pajak-e-commerce/

Related posts